Khutbah Pertama
اَلْحَمْدُ للهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
رَسُوْلِ اللهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ
لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ
سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ، أَمَّا
بَعْدُ، فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ في
مُحْكَمِ كِتَابِهِ: وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ
لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Mengawali khutbah yang singkat ini, khatib berwasiat kepada kita semua,
terutama kepada diri khatib pribadi untuk senantiasa berusaha meningkatkan
keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wa ta'ala, kapan pun dan
di mana pun kita berada serta dalam keadaan sesulit apa pun dan dalam
kondisi yang bagaimana pun, dengan cara melaksanakan segenap kewajiban-Nya
dan menjauhi segala larangan-Nya.
Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,
Khalifah kedua, Sayyidina Umar bin Khattab RA pernah melontarkan
kalimat:
مَتَى اسْتَعْبَدْتُم النَّـــــــــاسَ وَقَدْ وَلَدَتْهُمْ أُمَّهَاتُهُمْ أَحْرَارًا؟
Artinya: Sejak kapan kalian memperbudak manusia, sedangkan ibu-ibu mereka
melahirkan mereka sebagai orang-orang merdeka (Kitab al-Wilâyah 'alal Buldân
fî 'Ashril Khulafâ' ar-Râsyidîn).
Sayyidina Umar memang menyampaikannya dengan nada tanya, namun sesungguhnya
ia sedang mengorek kesadaran kita tentang hakikat manusia. Menurutnya,
manusia secara fitrah adalah merdeka. Bayi yang lahir ke dunia tak hanya
dalam keadaan suci tapi juga bebas dari segala bentuk ketertindasan.
Sebagai konsekuensinya, penjajahan sesungguhnya adalah proses pengingkaran
akan sifat hakiki manusia. Karena itu Islam mengizinkan membela diri ketika kezaliman menimpa diri.
Bahkan, pada level penjajahan yang mengancam jiwa, umat Islam secara syar'i
diperbolehkan mengobarkan perang. Perang dalam konteks ini adalah untuk kepentingan mempertahankan diri
(defensif), bukan perang dengan motif asal menyerang (ofensif).
Hal ini pula yang dilakukan para ulama, santri, dan umat Islam bangsa ini
ketika menghadapi penjajahan Belanda dan Jepang pada masa lalu. Perjuangan
yang mereka lakukan bersama berbagai elemen bangsa lain yang tidak hanya
beda suku dan daerah tapi juga agama dan kepercayaan.
Sebab, kemerdekaan memang menjadi persoalan manusia secara keseluruhan,
bukan cuma golongan tertentu. Islam mengakuinya sebagai nilai yang
universal.
Jamaah Shalat Jumat rahimakumullah,
Tanah air menjadi elemen penting dalam perjuangan tersebut. Tanah air tidak ubahnya rumah yang dihuni jutaan bahkan ratusan juta manusia. Islam mengakui hak atas keamanan tempat tinggal dan memperbolehkan melakukan pembelaan bila terjadi ancaman yang membahayakannya.
Al-Qur'an bahkan secara tersirat menyejajarkan posisi agama dan tanah air
dalam Surat al-Mumtahanah ayat 8:
لَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ
وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا
إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil (QS Al-Mumtahanah [60]: 8).
Prof Quraish Shihab menjelaskan ayat tersebut memberi pesan bahwa Islam
mensejajarkan antara agama dan tanah air. Oleh Al-Qur'an keduanya dijadikan
alasan untuk tetap berbuat baik dan berlaku adil.
Al-Qur'an memberi jaminan kebebasan beragama sekaligus jaminan bertempat tinggal secara merdeka. Tidak heran bila sejumlah ulama memunculkan jargon hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman).
Jamaah Shalat Jumat rahimakumullah,
Dengan demikian, cara pertama yang bisa dilakukan untuk menyambut hari
kemerdekaan ini adalah mensyukuri secara sungguh-sungguh dan sepenuh hati
atas anugerah kemanan atas agama dan negara kita dari belenggu penjajahan
yang menyengsarakan. Sebab, nikmat agung setelah iman adalah aman (a'dzamun
ni'ami ba'dal îmân billâh ni'matul aman).
Lalu, bagaimana cara kita mensyukuri kemerdekaan ini?
Pertama, mengisi kemerdekaan selama ini dengan meningkatkan ketakwaan
kepada Allah. Menjalankan syariat secara tenang adalah anugerah yang besar
di tengah sebagian saudara-saudara kita di belahan dunia lain berjuang
mencari kedamaian.
Umat Islam Indonesia harus mensyukurinya dengan senantiasa mendekatkan diri
kepada sang khaliq dan berbuat baik kepada sesama. Perlombaan yang paling
bagus adalah perlombaan menuju paling menjadi pribadi paling takwa karena di
situlah kemuliaan dapat diraih.
يَا
أَيُّهَا
النَّاسُ
إِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ
مِنْ
ذَكَرٍ
وَأُنْثَىٰ
وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا
ۚ
إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ
عِنْدَ
اللَّهِ
أَتْقَاكُمْ
ۚ
إِنَّ
اللَّهَ
عَلِيمٌ
خَبِيرٌ
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS
al-Hujurat [49]: 13).
Kedua, mencintai negeri ini dengan memperhatikan berbagai kemaslahatan dan
kemudharatan bagi eksistensinya. Segala upaya yang memberikan manfaat bagi
rakyat luas kita dukung, sementara yang merugikan masyarakat banyak kita
tolak.
Dukungan terhadap kemaslahatan publik bisa dimulai dari diri sendiri yang
berpartisipasi terhadap proses kemajuan di masyarakat, andil bergotong
royong, atau patuh terhadap peraturan yang berlaku. Sebaliknya, mencegah
mudharat berarti menjauhkan bangsa ini dari berbagai marabahaya, seperti
bencana, korupsi, kriminalitas, dan lain sebagainya.
Inilah pengejawantahan dari sikap amar ma'ruf nahi munkar dalam pengertian
yang luas. Ajakan kebaikan dan pengingkaran terhadap kemungkaran
dipraktikkan dalam konteks pembangunan masyarakat. Tujuannya, menciptakan
kehidupan yang lebih harmonis, adil, dan sejahtera.
Termasuk dalam praktik ini adalah mengapresiasi pemerintah bila kebijakan
yang dijalankan berguna dan mengkritiknya tanpa segan ketika kebijakan
pemerintah melenceng dari kemaslahatan bersama.
Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,
Al-Imam Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihyâ' 'Ulûmiddîn
mengatakan:
المُلْكُ
وَالدِّيْنُ
تَوْأَمَانِ
فَالدِّيْنُ
أَصْلٌ
وَالسُّلْطَانُ
حَارِسٌ
وَمَا
لَا
أَصْلَ
لَهُ
فَمَهْدُوْمٌ
وَمَا
لَا
حَارِسَ
لَهُ
فَضَائِعٌ
Artinya: Kekuasaan (negara) dan agama merupakan dua saudara kembar. Agama
adalah landasan, sedangkan kekuasaan adalah pemelihara. Sesuatu tanpa
landasan akan roboh. Sedangkan sesuatu tanpa pemelihara akan lenyap.
Al-Ghazali dalam pernyataan itu seolah ingin menegaskan bahwa ada hubungan
simbiosis yang tak terpisahkan antara agama dan negara. Alih-alih
bertentangan, keduanya justru hadir dalam keadaan saling menopang. Negara
membutuhkan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam agama, sementara agama
memerlukan "rumah" yang mampu merawat keberlangsungannya secara aman dan
damai.
Indonesia adalah sebuah nikmat yang sangat penting. Kita bersyukur dasar negara kita senafas dengan substansi ajaran Islam. Kemerdekaan memang belum diraih secara tuntas dalam segala bidang. Namun, itulah tugas kita sebagai warga negara yang baik untuk tak hanya mengeluhkan keadaan tapi juga harus turut serta memperbaikinya sebagai bagian dari ekspresi hubbul wathan.
Semoga Allah SWT senantiasa menjaga negara dan agama kita dari malapetaka
hingga bisa kita wariskan ke generasi-generasi berikutnya.
بَارَكَ
الله
لِي
وَلَكُمْ
فِى
اْلقُرْآنِ
اْلعَظِيْمِ،
وَنَفَعَنِي
وَإِيَّاكُمْ
بِمَافِيْهِ
مِنْ
آيَةِ
وَذِكْرِ
الْحَكِيْمِ
وَتَقَبَّلَ
اللهُ
مِنَّا
وَمِنْكُمْ
تِلاَوَتَهُ
إِنَّهُ
هُوَ
السَّمِيْعُ
العَلِيْمُ،
أَقُوْلُ
قَوْلِيْ
هٰذَا
وَأَسْتَغْفِرُ
اللهَ
لِيْ
وَلَكُمْ،
فَاسْتَغْفِرُوْهُ،
إِنَّهُ
هُوَ
الْغَفُوْرُ
الرَّحِيْمُ
Khutbah Kedua
اَلْحَمْدُ
للهِ
عَلىَ
إِحْسَانِهِ
وَالشُّكْرُ
لَهُ
عَلىَ
تَوْفِيْقِهِ
وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ
أَنْ
لاَ
اِلَهَ
إِلاَّ
اللهُ
وَاللهُ
وَحْدَهُ
لاَ
شَرِيْكَ
لَهُ
وَأَشْهَدُ
أنَّ
سَيِّدَنَا
مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ
الدَّاعِى
إلىَ
رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ
صَلِّ
عَلَى
سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ
وِعَلَى
اَلِهِ
وَأَصْحَابِهِ
وَسَلِّمْ
تَسْلِيْمًا
كِثيْرًا
أَمَّا
بَعْدُ
فَياَ
اَيُّهَا
النَّاسُ
اِتَّقُوااللهَ
فِيْمَا
أَمَرَ
وَانْتَهُوْا
عَمَّا
نَهَى
وَاعْلَمُوْا
أَنَّ
اللهَ
أَمَرَكُمْ
بِأَمْرٍ
بَدَأَ
فِيْهِ
بِنَفْسِهِ
وَثَـنَى
بِمَلآ
ئِكَتِهِ
بِقُدْسِهِ
وَقَالَ
تَعاَلَى
إِنَّ
اللهَ
وَمَلآئِكَتَهُ
يُصَلُّوْنَ
عَلىَ
النَّبِى
يآ
اَيُّهَا
الَّذِيْنَ
آمَنُوْا
صَلُّوْا
عَلَيْهِ
وَسَلِّمُوْا
تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ
صَلِّ
عَلَى
سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلِّمْ
وَعَلَى
آلِ
سَيِّدِناَ
مُحَمَّدٍ
وَعَلَى
اَنْبِيآئِكَ
وَرُسُلِكَ
وَمَلآئِكَةِ
اْلمُقَرَّبِيْنَ
وَارْضَ
اللّهُمَّ
عَنِ
اْلخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِيْنَ
أَبِى
بَكْرٍ
وَعُمَر
وَعُثْمَان
وَعَلِى
وَعَنْ
بَقِيَّةِ
الصَّحَابَةِ
وَالتَّابِعِيْنَ
وَتَابِعِي
التَّابِعِيْنَ
لَهُمْ
بِاِحْسَانٍ
اِلَىيَوْمِ
الدِّيْنِ
وَارْضَ
عَنَّا
مَعَهُمْ
بِرَحْمَتِكَ
يَا
أَرْحَمَ
الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ
وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ
اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ
وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ
وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ
كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ
وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا
ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً
وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ.
رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا
عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا
وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ
يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى
عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ
نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ